Entries (RSS)
KLIK SALAH SATU LINK IKLAN DIBAWAH UNTUK MENGHILANGKAN KOTAK INI
.

Melakukan Asuhan Keperawatan (Askep) merupakan aspek legal bagi seorang perawat walaupun format model asuhan keperawatan di berbagai rumah sakit berbeda-beda. Seorang perawat Profesional di dorong untuk dapat memberikan Pelayanan Kesehatan seoptimal mungkin, memberikan informasi secara benar dengan memperhatikan aspek legal etik yang berlaku. Metode perawatan yang baik dan benar merupakan salah satu aspek yang dapat menentukan kualitas “asuhan keperawatan” (askep) yang diberikan yang secara langsung maupun tidak langsung dapat meningkatkan brand kita sebagai perawat profesional. Pemberian Asuhan keperawatan pada tingkat anak, remaja, dewasa, hingga lanjut usia hingga bagaimana kita menerapkan manajemen asuhan keperawatan secara tepat dan ilmiah diharapkan mampu meningkatkan kompetensi perawat khususnya di indonesia

BAHAYA KEKURANGAN DAN KELEBIHAN GIZI

VIVAnews - Gangguan kesehatan tak selalu identik dengan kekurangan gizi, tapi juga kelebihan gizi. Keduanya sama-sama berdampak negatif terhadap kesehatan dan kualitas hidup manusia. Itulah yang kini menjadi fokus perhatian sejumlah pakar kesehatan di Indonesia.

Ahli gizi sekaligus Guru Besar Institut Pertanian Bogor, Prof Soekirman, SKM, MPS-ID, PhD, mengatakan, kekurangan dan kelebihan gizi umumnya terjadi akibat perubahan pola makan yang tidak bergizi seimbang.

Kekurangan gizi ditandai dengan lambatnya pertumbuhan tubuh (terutama pada anak), daya tahan tubuh rendah, kurangnya tingkat intelegensia (kecerdasan), dan produktivitas yang rendah. Ini terjadi akibat asupan gizi di bawah kebutuhan.

Sementara kelebihan gizi ditandai dengan kelebihan berat badan. Ini jelas memperbesar risiko munculnya berbagai penyakit kronis degeneratif, seperti diabetes, tekanan darah tinggi, dan penyakit jantung. Kondisi ini terjadi karena asupan gizi melebihi kebutuhan.

Perlahan, masyarakat Indonesia mungkin sudah bisa lepas dari persoalan kekuarangan gizi. Yang terjadi justru memasuki masa transisi dari persoalan kurang gizi ke kelebihan gizi. Bahkan, masalah kelebihan gizi mulai menimpa masyarakat kelas ekonomi rendah.

Artinya, mereka dengan tingkat ekonomi rendah, bukan tak mungkin menderita penyakit kronis degeneratif seperti jantung. "Ini bisa lebih memberi beban ekonomi pada mereka,” kata Soekirman, di sela-sela acara 'Sehat dan Bugar Berkat Gizi Seimbang', Kamis, 27 Januari 2011.

Gemuk tak lagi menjadi simbol kemakmuran. Salah satu pemicunya adalah kehadiran junk food yang dangat terjangkau masyarakat kalangan bawah. Konsumsi makanan ini sangat buruk bagi kesehatan, apalagi jika tak diimbangi dengan olahraga seimbang.

Demikian pula masalah kekurangan gizi, yang bisa menimpa kalangan menengah ke atas. Umumnya terjadi akibat buruknya sanitasi lingkungan dan kebersihan diri yang potensial memicu penyakit infeksi seperti diare dan ISPA. Dan, mereka yang sering terkena infeksi potensial menderita kekurangan gizi.

Mengatasi persoalan kurang dan kelebihan gizi ini bisa dilakukan dengan memahami dan mempraktekkan pola makan bergizi seimbang. Caranya, konsumsi makanan bergizi dalam jenis dan jumlah yang sesuai kebutuhan tubuh, usia, jenis kelamin, aktivitas fisik dan kondisi biologis.

Memperhatikan variasi makanan juga penting, selain menerapkan gaya hidup sehat seperti olahraga rutin, mengontrol berat badan, dan menjaga kebersihan diri. "Berbeda dari prinsip empat sehat lima semprna, yang hanya memperhatikan prinsip variasi makanan, tanpa menyesuaikan dengan kebutuhan tubuh berdasarkan usia, jenis kelamin, aktivitas fisik dan kondisi biologis."

Data status gizi berdasar riset kesehatan dasar 2010 di Indonesia menunjukkan, balita bertubuh kurus sebanyak 13,3 persen, dan balita bertubuh gemuk 14 persen. Lalu, anak 6-12 tahun, yang mengalami kegemukan 9,2 persen dan yang kurus 12,2 persen.

Sementara anak 13-15 tahun yang bertubuh gemuk mencapai 2,5 persen, dan yang kurus 10,1 persen. Anak 16-18 tahun yang bertubuh gemuk 1,4 persen dan yang kurus 8,9 persen. Sedangkan orang dewasa 18 tahun ke atas yang bertubuh gemuk 21,7 persen dan yang kurus 12,6 persen. (pet)

Vivanews.com

DIET SAAT HAMIL MENYEBABKAN IQ ANAK RENDAH

Banyak wanita yang ingin memnjaga berat tubuh saat hamil. Menurut penelitian, hal itu berakibat buruk bagi IQ bayi yang dikandungnya.

Dikutip dari Dailymail, Dr Thomas McDonald sang peneliti menyebutkan bahwa kurangnya nutrisi saat hamil akan berakibat langsung pada tingkat kecerdasan serta perilaku sang jabang bayi.

Kekurangan nutrisi akan membuat saraf yang menyambung dengan janin terganggu, sehingga sel-sel pertumbuhan janin tidak maksimal. Kekurangan nutrisi saat hamil juga memperbesar bayi menderita autis, depresi serta gangguan jiwa skizofrenia.

Para wanita yang hamil muda atau hamil saat remaja memerlukan nutrisi yang lebih. Karena tubuhnya masih dalam pertumbuhan, dan di sisi lain, si jabang bayi pun butuh asupan yang cukup.

McDonald menyarankan para wanita untuk menghentikan dietnya saat hamil. Tak perlu takut dengan penambahan berat badan yang akan terjadi. Karena yang penting adalah menyantap nutrisi yang bermanfaat, bukan menyantap makanan dengan porsi ganda.

MANFAAT MASTURBASI UNTUK KESEHATAN

Tabu, menimbulkan rasa bersalah, atau bisa berdampak buruk bagi kesehatan adalah sejumlah anggapan yang membuat kebanyakan wanita merasa jengah ketika membahas soal masturbasi. Bisa dibilang, kegiatan yang juga dikenal dengan istilah onani atau seks ’swadaya’ ini memang lebih populer di kalangan pria. Tapi, sebenarnya tidak sedikit wanita yang juga melakukannya.

Menurut studi seputar masturbasi mengungkapkan, sebanyak 95 persen pria dan 89 persen dari wanita ternyata melakukan aktivitas ini. Mereka terdiri orang-orang yang berasal dari berbagai latar belakang, profesi, dan umur.

Lantas, apakah masturbasi berbahaya? Di dunia medis, masturbasi dianggap sebagai perilaku alami, baik untuk pria maupun wanita. Ini tidak fisik maupun mental. Masturbasi baru menjadi masalah bila dilakukan secara berlebihan hingga mengganggu kehidupan sehari-hari, misalnya Anda sampai titik mengabaikan pekerjaan rumah tangga, seperti dikutip dari laman Divine Caroline.

Percaya atau tidak, penelitian telah menunjukkan bahwa masturbasi memiliki manfaat kesehatan potensial bagi pria dan wanita. Carrie Levine, seorang bidan asal Amerika Serikat, juga mengungkap, masturbasi pada wanita sebenarnya memiliki dampak positif baik bagi kesehatan fisik maupun psikologis. Apa saj manfaatnya?

- Membantu seseorang lebih relaks dan mudah tertidur.

- Mengurangi stres.

- Meningkatkan sistem kekebalan tubuh.

- Mungkin memberikan perlindungan terhadap kanker prostat. Sebuah studi baru-baru ini menunjukkan bahwa persentase penduduk yang bermasturbasi secara teratur untuk menggantikan hubungan seksual normal memiliki insiden lebih rendah terkena kanker prostat.

- Kegiatan ini pada dasarnya adalah seks aman tanpa khawatir terhadap kehamilan dan PMS.

- Masturbasi berpotensi meningkatkan kesehatan dan tidak berbahaya bagi mental atau fisik Anda.

Sumber : Vivanews.com

ASUHAN KEPERAWATAN TUMOR OTAK

Definisi :
Tumor otak adalah lesi intra kranial yang menempati ruang dalam tulang tengkorak

Klasifikasi Tumor Otak :
1. Tumor yang berasal dari lapisam otak (meningioma dural)
2. Tumor yang berkembang didalam / pada syaraf kranial
3. Tumor yang berasal didalam jaringan otak
4. Lesi metastatik yang berasal dari bagian tubuh mana saja

Patofisiologi :
Tumor otak menyebabkan gangguan neurologis. Gejala-gejala terjadi berurutan. Hal ini menekankan pentingnya anamnesis dalam pemeriksaan klien. Gejala-gejalanya sebaiknya dibicarakan dalam suatu perspektif waktu.
Gejala neurologik pada tumor otak biasanya dianggap disebabkan oleh 2 faktor gangguan fokal, disebabkan oleh tumor dan tekanan intrakranial. Gangguan fokal terjadi apabila penekanan pada jaringan otak dan infiltrasi/invasi langsung pada parenkim otak dengan kerusakan jaringan neuron. Tentu saja disfungsi yang paling besar terjadi pada tumor yang tumbuh paling cepat.
Perubahan suplai darah akibat tekanan yang ditimbulkan tumor yang tumbuh menyebabkan nekrosis jaringan otak. Gangguan suplai darah arteri pada umumnya bermanifestasi sebagai kehilangan fungsi secara akut dan mungkin dapat dikacaukan dengan gangguan cerebrovaskuler primer. Serangan kejang sebagai manifestasi perubahan kepekaan neuro dihubungkan dengan kompresi invasi dan perubahan suplai darah ke jaringan otak. Beberapa tumor membentuk kista yang juga menekan parenkim otak sekitarnya sehingga memperberat gangguan neurologis fokal.
Peningkatan tekanan intra kranial dapat diakibatkan oleh beberapa faktor : bertambahnya massa dalam tengkorak, terbentuknya oedema sekitar tumor dan perubahan sirkulasi cerebrospinal. Pertumbuhan tumor menyebabkan bertambahnya massa, karena tumor akan mengambil ruang yang relatif dari ruang tengkorak yang kaku. Tumor ganas menimbulkan oedema dalam jaruingan otak. Mekanisme belum seluruhnyanya dipahami, namun diduga disebabkan selisih osmotik yang menyebabkan perdarahan. Obstruksi vena dan oedema yang disebabkan kerusakan sawar darah otak, semuanya menimbulkan kenaikan volume intrakranial. Observasi sirkulasi cairan serebrospinal dari ventrikel laseral ke ruang sub arakhnoid menimbulkan hidrocepalus.
Peningkatan tekanan intrakranial akan membahayakan jiwa, bila terjadi secara cepat akibat salah satu penyebab yang telah dibicarakan sebelumnya. Mekanisme kompensasi memerlukan waktu berhari-hari/berbulan-bulan untuk menjadi efektif dan oelh karena ity tidak berguna apabila tekanan intrakranial timbul cepat. Mekanisme kompensasi ini antara lain bekerja menurunkan volume darah intra kranial, volume cairan serebrospinal, kandungan cairan intrasel dan mengurangi sel-sel parenkim. Kenaikan tekanan yang tidak diobati mengakibatkan herniasi ulkus atau serebulum. Herniasi timbul bila girus medialis lobus temporals bergeser ke inferior melalui insisura tentorial oleh massa dalam hemisfer otak. Herniasi menekan men ensefalon menyebabkab hilangnya kesadaran dan menenkan saraf ketiga. Pada herniasi serebulum, tonsil sebelum bergeser ke bawah melalui foramen magnum oleh suatu massa posterior. Kompresi medula oblongata dan henti nafas terjadi dengan cepat. Intrakranial yang cepat adalah bradicardi progresif, hipertensi sistemik (pelebaran tekanan nadi dan gangguan pernafasan).

Tanda dan Gejala
Menurut lokasi tumor :
1. Lobus frontalis
Gangguan mental / gangguan kepribadian ringan : depresi, bingung, tingkah laku aneh, sulit memberi argumenatasi/menilai benar atau tidak, hemiparesis, ataksia, dan gangguan bicara.
2. Kortek presentalis posterior
Kelemahan/kelumpuhan pada otot-otot wajah, lidah dan jari
3. Lobus parasentralis
Kelemahan pada ekstremitas bawah
4. Lobus Oksipitalis
Kejang, gangguan penglihatan
5. Lobus temporalis
Tinitus, halusinasi pendengaran, afasia sensorik, kelumpuhan otot wajah
6. Lobus Parietalis
Hilang fungsi sensorik, kortikalis, gangguan lokalisasi sensorik, gangguan penglihatan
7. Cerebulum
Papil oedema, nyeri kepala, gangguan motorik, hipotonia, hiperekstremitas esndi

Tanda dan Gejala Umum :
1. Nyeri kepala berat pada pagi hari, main bertambah bila batuk, membungkuk
2. Kejang
3. Tanda-tanda peningkatan tekanan intra kranial : Pandangan kabur, mual, muntah, penurunan fungsi pendengaran, perubahan tanda-tanda vital, afasia.
4. Perubahan kepribadian
5. Gangguan memori
6. Gangguan alam perasaa

Trias Klasik ;
- Nyeri kepala
- Papil oedema
- Muntah

Pemeriksaan Diagnostik ;
1. Rontgent tengkorak anterior-posterior
2. EEG
3. CT Scan
4. MRI
5. Angioserebral

Pengkajian :
1. Data klien : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, golongan darah, penghasilan, alamat, penanggung jawab, dll
2. Riwayat kesehatan :
- keluhan utama
- Riwayat kesehatan sekarang
- Riwayat Kesehatan lalu
- Riwayat Kesehatan Keluarga
3. Pemeriksaan fisik :
• Saraf : kejang, tingkah laku aneh, disorientasi, afasia, penurunan/kehilangan memori, afek tidak sesuai, berdesis
• Penglihatan : penurunan lapang pandang, penglihatan kabur
• Pendnegaran : tinitus, penurunan pendengaran, halusinasi
• Jantung : bradikardi, hipertensi
• Sistem pernafasan : irama nafas meningkat, dispnea, potensial obstruksi jalan nafas, disfungsi neuromuskuler
• Sistem hormonal : amenorea, rambut rontok, diabetes melitus
• Motorik : hiperekstensi, kelemahan sendi

Diagnosa Keperawatan :
1. Gangguan pertukaran gas b.d disfungsi neuromuskuler (hilangnya kontrol terhadap otot pernafasan ), ditandai dengan : perubahan kedalamam nafasn, dispnea, obstruksi jalan nafas, aspirasi.
Tujuan : Gangguan pertukaran gas dapat teratasi
Tindakan :
- Bebaskan jalan nafas
- Pantau vital sign
- Monitor pola nafas, bunyi nafas
- Pantau AGD
- Monitor penururnan gas darah
- Kolaborasi O2

2. Gangguan rasa nyaman, nyer kepla b.d peningkatan TIK, ditndai dengan : nyeri kepala terutama pagi hari, klien merintih kesakitan, nyeri bertambah bila klien batuk, mengejan, membungkuk
Tujuan : rasa nyeri berkurang
Tindakan :
- pantau skala nyeri
- Berikan kompres dimana pada area yang sakit
- Monitor tanda vital
- Beri posisi yang nyaman
- Lakukan Massage
- Observasi tanda nyeri non verbal
- Kaji faktor defisid, emosi dari keadaan seseorang
- Catat adanya pengaruh nyeri
- Kompres dingin pada daerah kepala
- Gunakan teknik sentuham yang terapeutik
- Observasi mual, muntah
- Kolaborasi pemberian obat : analgetik, relaksan, prednison, antiemetik

3. Resiko tinggi cidera b.d disfungsi otot sekunder terhadap depresi SSP, ditandai dengan : kejang, disorientasi, gangguan penglihatan, pendengaran
Tujuan : tidak terjadi cidera
Tindakan :
- Identifikasi bahaya potensial pada lingkungan klien
- Pantau tingkat kesadaran
- Orientasikan klien pada tempat, orang, waktu, kejadian
- Observasi saat kejang, lama kejang, antikonvulsi,
- Anjurkan klien untuk tidak beraktifitas

4. Perubahan proses pikir b.d perubahan fisiologi, ditandai dengan disorientasi, penurunan kesadaran, sulit konsentrasi
Tujuan : mempertahankan orientasi mental dan realitas budaya
Tindakan :
- kaji rentang perhatian
- Pastikan keluarga untuk membandingkan kepribadian sebelum mengalami trauma dengan respon klien sekarang
- Pertahankan bantuan yang konsisten oleh staf, keberadaan staf sebanyak mungkin
- Jelaskan pentingnya pemeriksaan neurologis
- Kurangi stimulus yang merangsang, kritik yang negatif
- Dengarkan klieen dengan penuh perhatian semua hal yang diungkapkan klien/keluarga
- Instruksikan untuk melakukan rileksasi
- Hindari meninggalkan klien sendiri

5. Gangguan perfusi serebral b.d hipoksia jaringan, ditandai dengan peningkatan TIK, nekrosis jaringan, pembengkakakan jaringan otak, depresi SSP dan oedema
Tujuan : gangguan perfusi jaringan berkurang/hilang
Tindakan :
- Tentukan faktor yang berhubungan dengan keadaan tertentu, yang dapat menyebabkan penurunan perfusi dan potensial peningkatan TIK
- Catat status neurologi secara teratur, badingkan dengan nilai standart
- Kaji respon motorik terhadap perintah sederhana
- Pantau tekanan darah
- Evaluasi : pupil, keadaan pupil, catat ukuran pupil, ketajaman pnglihatan dan penglihatan kabur
- Pantau suhu lingkungan
- Pantau intake, output, turgor
- Beritahu klien untuk menghindari/ membatasi batuk, untah
- Perhatikan adanya gelisah meningkat, tingkah laku yang tidak sesuai
- Tinggikan kepala 15-45 derajat

6. Cemas b.d kurang informasi tentang prosedur
Tujuan : rasa cemas berkuang
Tindakan :
- kaji status mental dan tingkat cemas
- Beri penjelasan hubungan antara proses penyakit dan gejala
- Jawab setiap pertanyaan dengan penuh perhatian
- Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan piiran dan perasaan takut
- Libatkan keluarga dalam perawatan

DAFTAR PUSTAKA

1. Doenges, E Marylin (1999), Rencana Asuhan Keperawatan, Jakarta, EGC
2. Engram, Barbara (1998), Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, Jakarta, EGC
3. FKUI, Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta : Media Gesapius
4. Reeves C, J, (2001), Keperawatan Medikal Bedah, Jakarta, Salemba Medika
5. Suddart, Brunner (2000), Keperawatan Medikal Bedah, Jakarta, EGC
6. Ganong, WF, (1996), Fisiologi Kedokteran, Jakarta, EGC
7. Talbot, LA (1997), Pengkajian Keperawatan Kritis, Jakarta, EGC


MATERI KARSINOMA NASOFARING (KANKER NASOFARING)

A. Pengertian
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang tumbuh di daerah nasofaring dengan predileksi di fossa Rossenmuller dan atap nasofaring. Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia. (Efiaty & Nurbaiti, 2001)

B. Etiologi
Insidens karsinoma nasofaring yang tinggi ini dihubungkan dengan kebiasaan makan, lingkungan dan virus Epstein-Barr (Sjamsuhidajat, 1997). Selain itu faktor geografis, rasial, jenis kelamin, genetik, pekerjaan, kebiasaan hidup, kebudayaan, sosial ekonomi, infeksi kuman atau parasit juga sangat mempengaruhi kemungkinan timbulnya tumor ini. Tetapi sudah hampir dapat dipastikan bahwa penyebab karsinoma nasofaring adalah virus Epstein-barr, karena pada semua pasien nasofaring didapatkan titer anti-virus EEB yang cukup tinggi (Efiaty & Nurbaiti, 2001).

C. Pathofisiologi / Pathways
Terlampir

Klil Gambar Untuk Memperbesar


D. Tanda dan Gejala
Gejala karsinoma nasofaring dapat dikelompokkan menjadi 4 bagian, yaitu antara lain :
1. Gejala nasofaring
Gejala nasofaring dapat berupa epistaksis ringan atau sumbatan hidung.
2. Gangguan pada telinga
Merupakan gejala dini karena tempat asal tumor dekat muara tuba Eustachius (fosa Rosenmuller). Gangguan yang timbul akibat sumbatan pada tuba eustachius seperti tinitus, tuli, rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia)
3. Gangguan mata dan syaraf
Karena dekat dengan rongga tengkorak maka terjadi penjalaran melalui foramen laserum yang akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI sehingga dijumpai diplopia, juling, eksoftalmus dan saraf ke V berupa gangguan motorik dan sensorik.
Karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI dan XII jika penjalaran melalui foramen jugulare yang sering disebut sindrom Jackson. Jika seluruh saraf otak terkena disebut sindrom unialteral.
4. Metastasis ke kelenjar leher
Yaitu dalam bentuk benjolan medial terhadap muskulus sternokleidomastoid yang akhirnya membentuk massa besar hingga kulit mengkilat.

E. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan CT-Scan daerah kepala dan leher untuk mengetahui keberadaan tumor sehingga tumor primer yang tersembunyi pun akan ditemukan.
2. Pemeriksaan Serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk mengetahui infeksi virus E-B.
3. Untuk diagnosis pasti ditegakkan dengan Biopsi nasofaring dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dari hidung dan mulut. Dilakukan dengan anestesi topikal dengan Xylocain 10 %.
4. Pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narkosis.

F. Penatalaksanaan Medis
1. Radioterapi merupakan pengobatan utama
2. Pengobatan tambahan yang diberikan dapat berupa diseksi leher ( benjolan di leher yang tidak menghilang pada penyinaran atau timbul kembali setelah penyinaran dan tumor induknya sudah hilang yang terlebih dulu diperiksa dengan radiologik dan serologik) , pemberian tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin dan antivirus.
Pemberian ajuvan kemoterapi yaitu Cis-platinum, bleomycin dan 5-fluorouracil. Sedangkan kemoterapi praradiasi dengan epirubicin dan cis-platinum. Kombinasi kemo-radioterapi dengan mitomycin C dan 5-fluorouracil oral sebelum diberikan radiasi yang bersifat “RADIOSENSITIZER”.

G. Pengkajian
1. Faktor herediter atau riwayat kanker pada keluarga misal ibu atau nenek dengan riwayat kanker payudara
2. Lingkungan yang berpengaruh seperti iritasi bahan kimia, asap sejenis kayu tertentu.
3. Kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu dan kebiasaan makan makanan yang terlalu panas serta makanan yang diawetkan ( daging dan ikan).
4. Golongan sosial ekonomi yang rendah juga akan menyangkut keadaan lingkungan dan kebiasaan hidup.
5. Tanda dan gejala :
 Aktivitas
Kelemahan atau keletihan. Perubahan pada pola istirahat; adanya faktor-faktor yangmempengaruhi tidur seperti nyeri, ansietas.
 Sirkulasi
Akibat metastase tumor terdapat palpitasi, nyeri dada, penurunan tekanan darah, epistaksis/perdarahan hidung.
 Integritas ego
Faktor stres, masalah tentang perubahan penampilan, menyangkal diagnosis, perasaan tidak berdaya, kehilangan kontrol, depresi, menarik diri, marah.
 Eliminasi
Perubahan pola defekasi konstipasi atau diare, perubahan eliminasi urin, perubahan bising usus, distensi abdomen.
 Makanan/cairan
Kebiasaan diit buruk ( rendah serat, aditif, bahanpengawet), anoreksia, mual/muntah, mulut rasa kering, intoleransi makanan,perubahan berat badan, kakeksia, perubahan kelembaban/turgor kulit.
 Neurosensori
Sakit kepala, tinitus, tuli, diplopia, juling, eksoftalmus
 Nyeri/kenyamanan
Rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri telinga (otalgia), rasa kaku di daerah leher karena fibrosis jaringan akibat penyinaran
 Pernapasan
Merokok (tembakau, mariyuana, hidup dengan seseorang yang merokok), pemajanan
 Keamanan
Pemajanan pada kimia toksik, karsinogen, pemajanan matahari lama / berlebihan, demam, ruam kulit.
 Seksualitas
Masalah seksual misalnya dampak hubungan, perubahan pada tingkat kepuasan.
 Interaksi sosial
Ketidakadekuatan/kelemahan sistem pendukung

DAFTAR PUSTAKA

1. Smeltzer Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Alih bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC; 2001.
2. Doenges, Marilynn E. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan pendokumentasian Perawatan Pasien. Alih bahasa I Made Kariasa. Ed. 3. Jakarta : EGC;1999
3. Efiaty Arsyad Soepardi & Nurbaiti Iskandar. Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2001
4. R. Sjamsuhidajat &Wim de jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi. Jakarta : EGC ; 1997
5. Purnaman S. Pandi.

ASUHAN KEPERAWATAN OTITIS MEDIA AKUT DAN PERFORATA

A. Pengertian
Otitis media akut (OMA) adalah peradangan akut sebagian atau seluruh periosteum telinga tengah (Kapita selekta kedokteran, 1999).
Yang paling sering terlihat ialah :
1. Otitis media viral akut
2. Otitis media bakterial akut
3. Otitis media nekrotik akut

B. Etiologi
Penyebabnya adalah bakteri piogenik seperti streptococcus haemolyticus, staphylococcus aureus, pneumococcus , haemophylus influenza, escherecia coli, streptococcus anhaemolyticus, proteus vulgaris, pseudomonas aerugenosa.

C. Patofisiologi
Umumnya otitis media dari nasofaring yang kemudian mengenai telinga tengah, kecuali pada kasus yang relatif jarang, yang mendapatkan infeksi bakteri yang membocorkan membran timpani. Stadium awal komplikasi ini dimulai dengan hiperemi dan edema pada mukosa tuba eusthacius bagian faring, yang kemudian lumennya dipersempit oleh hiperplasi limfoid pada submukosa.
Gangguan ventilasi telinga tengah ini disertai oleh terkumpulnya cairan eksudat dan transudat dalam telinga tengah, akibatnya telinga tengah menjadi sangat rentan terhadap infeksi bakteri yang datang langsung dari nasofaring. Selanjutnya faktor ketahanan tubuh pejamu dan virulensi bakteri akan menentukan progresivitas penyakit.

Klik Gambar Untuk Memperbesar



D. Pemeriksaan Penunjang
1. Otoskop pneumatik untuk melihat membran timpani yang penuh, bengkak dan tidak tembus cahaya dengan kerusakan mogilitas.
2. Kultur cairan melalui mambran timpani yang pecah untuk mengetahui organisme penyebab.

E. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Data yang muncul saat pengkajian:
a. Sakit telinga/nyeri
b. Penurunan/tak ada ketajaman pendengaran pada satu atau kedua telinga
c. Tinitus
d. Perasaan penuh pada telinga
e. Suara bergema dari suara sendiri
f. Bunyi “letupan” sewaktu menguap atau menelan
g. Vertigo, pusing, gatal pada telinga
h Penggunaan minyak, kapas lidi, peniti untuk membersihkan telinga
i. Penggunanaan obat (streptomisin, salisilat, kuirin, gentamisin)
j. Tanda-tanda vital (suhu bisa sampai 40o C), demam
k. Kemampuan membaca bibir atau memakai bahasa isyarat
l. Reflek kejut
m. Toleransi terhadap bunyi-bunyian keras
n. Tipe warna 2 jumlah cairan
o. Cairan telinga; hitam, kemerahan, jernih, kuning
p. Alergi
q. Dengan otoskop tuba eustacius bengkak, merah, suram
r. Adanya riwayat infeksi saluran pernafasan atas, infeksi telinga sebelumnya, alergi

2. Fokus Intervensi
1) Nyeri berhubungan dengan proses peradangan pada telinga
Tujuan : nyeri berkurang atau hilang
Intervensi:
(a) Beri posisi nyaman ; dengan posisi nyaman dapat mengurangi nyeri.
(b) Kompres panas di telinga bagian luar ; untuk mengurangi nyeri.
(c) Kompres dingin ; untuk mengurangi tekanan telinga (edema)
(d) Kolaborasi pemberian analgetik dan antibiotik
Evaluasi: nyeri hilang atau berkurang

2) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pengobatan
Tujuan : tidak terjadi tanda-tanda infeksi
Intervensi:
(a) Kaji tanda-tanda perluasan infeksi, mastoiditis, vertigo ; untuk mengantisipasi perluasan lebih lanjut.
(b) Jaga kebersihan pada daerah liang telinga ; untuk mengurangi pertumbuhan mikroorganisme
(c) Hindari mengeluarkan ingus dengan paksa/terlalu keras (sisi) ; untuk menghindari transfer organisme dari tuba eustacius ke telinga tengah.
(d) Kolaborasi pemberian antibiotik
Evaluasi: infeksi tidak terjadi

3) Resiko tinggi injury berhubungan dengan penurunan persepsi sensori
Tujuan : tidak terjadi injury atau perlukaan
Intervensi:
(a) Pegangi anak atau dudukkan anak di pangkuan saat makan ; meminimalkan anak agar tidak jatuh
(b) Pasang restraint pada sisi tempat tidur ; meminimalkan agar anak tidak jatuh.
(c) Jaga anak saat beraktivitas ; meminimalkan agar anak tidak jatuh
(d) Tempatkan perabot teratur ; meminimalkan agar anak tidak terluka
Evaluasi : anak terhindar dari injury/perlukaan


OTITIS MEDIA PERFORATA
A. Pengertian
Otitis media perforata (OMP) atau otitis media supuratif kronis (OMSK) adalah infeksi kronis di telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah terus menerus atau hilang timbul, sekret mungkin encer atau kental, bening atau bernanah.(Kapita selekta kedokteran, 1999)

B. Etiologi
Faktor-faktor yang menyebabkan penyakit infeksi telinga tengah supuratif menjadi kronis antara lain:
1. Gangguan fungsi tuba eustacius yang kronis akibat:
a. Infeksi hidung dan tenggorok yang kronis dan berulang
b. Obstruksi anatomik tuba eustacius parsial atau total
2. Perforasi membran timpani yang menetap.
3. Terjadinya metaplasia skuamosa atau perubahan patologik menetap lainnya pada telinga tengah.
4. Obstruksi menetap terhadap aerasi telinga tengah atau rongga mastoid. Hal ini dapat disebabkan oleh jaringan parut, penebalan mukosa, polip, jaringan granulai atau timpano-sklerosis.
5. Terdapat daerah-daerah osteomielitis persisten di mastoid.
6. Faktor-faktor konstitusi dasar seperti alergi, kelemahan umum atau perubahan mekanisme pertahanan tubuh.

C. Patofisiologi
Otitis media supuratif kronis lebih sering merupakan penyakit kambuhan daripada menetap. Keadaan kronis lebih berdasarkan waktu dan stadium daripada keseragaman gambaran patologi. Ketidakseragaman ini disebabkan karena proses peradangan yang menetap atau kambuhan ini ditambah dengan efek kerusakan jaringan, penyembuhan dan pembentukan jaringan parut.
OMP terutama pada masa anak-anak akan terjadi otitis media nekrotikans dapat menimbulkan perforasi yang besar pada gendang telinga. Setelah penyakit akut berlalu gendang telinga tetap berlubang atau sembuh dengan membran atropi kemudian kolps ke dalam telinga tengah memberi gambaran optitis media atelektasis.

D. Pemeriksaan Penunjang
1. Audiometrik untuk mengetahui tuli konduktif
2. Foto rontgent untuk mengetahui patologi mastoid
3. Otoskop untuk melihat perforasi membran timpani

E. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Kaji riwayat infeksi telinga dan pengobatan
b. Kaji drainage telinga, keutuhan membran timpani
c. Kaji penurunan / tuli pendengaran
d. Kaji daerah mastoid

2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri berhubungan dengan proses infeksi efek pembedahan.
b. Resiko penyebaran infeksi berhubungen dengan komplikasi proses pembedahan / penyakit.
c. Gangguan persepsi sensori auditory berhubungan dengan proses penyakit dan efek pembedahan.

3. Intervensi Keperawatan
a. Meningkatkan kenyamanan
1) Berikan tindakan untuk mengurangi nyeri
 Beri analgetik
 Lakukan kompres dingin pada area
 Atur posisi nyaman
2) Beri sedatif secara hati-hati agar dapat istirahat (kolaborasi)
b. Pencegahan penyebaran infeksi
1) Mengganti balutan pada daerah luka
2) Observasi tanda-tanda vital
3) Beri antibiotik yang disarankan tim medis
4) Awasi terjadinya infeksi
c. Monitor perubahan sensori
1) Catat status pendengaran
2) Kaji pasien yang mengalami vertigo setelah operasi
3) Awasi keadaan yang dapat menyebabkan injury nervus facial
3. Evaluasi
a. Tak ada infeksi lokal atau CNS
b. Melaporkan bahwa nyeri berkurang
c. Dapat mendengar dengan jelas tanpa atau menggunakan alat bantu pendengaran


DAFTAR PUSTAKA

1. Donna L. Wong, L.F. Whaley, Nursing Care of Infants and Children, Mosby Year Book.

2. Efiaty Arsyad, S, Nurbaiti Iskandar, Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan, Edisi III, FKUI,1997.

3. Wong Whaley, Clinical Manual of Pediatric Nursing, Mosby Year Book.


TANDA DAN GEJALA PREBIASKUSIS (GANGGUAN PENDENGARAN)

A. Anatomi dan Fisiologi
Telinga sebagai organ pendengaran dan ekuilibrium, berisi reseptor-reseptor yang menghantarkan gelombang suara ke dalam impuls-impuls saraf dan reseptor yang berspon pada gerakan kepala. Telinga terbagi dalam tiga bagian : telinga luar, tengah dan dalam.

1. Telinga luar
Terdiri dari aurikula (pinna) dan kanal auditorius eksternal. Fungsinya untuk menerima suara. Aurikel tersusun atas sebagian besar kartilago yang tertutup dengan kulit. Lobus satu-satunya bagian yang tidak disokong oleh kartilago. Sesuai pertambahan usia kartilago terus dibentuk dalam telinga dan kulit telinga berkurang elastisitasnya; kemudian aurikel tampak lebih besar dari lobulus. Perubahan-perubahan yang menyertai proses penuaan ini adalah pengeriputan lobulus dalam suatu pola oblique linier.
Saluran auditorius berbentuk S panjangnya 2,5 cm dari aurikel sampai membran timpani. Serumen disekresi oleh kelenjar yang menangkap benda asing dan melindungi epitelium kanalis. Pada proses penuaan, saluran menjadi dangkal sebagai akibat lipatan ke dalam, pada dinding kanalis silia menjadi lebih kasar dan lebih kaku dan produksi serumen agak berkurang dan lebih kering.

2. Telinga tengah
Ruangan berisi udara terletak dalam tulang temporal. Fungsinya memperkuat bunyi yang ditangkap. Terdiri dari 3 tulang artikulasi : maleus, inkus dan stapes yang dihubungkan ke dinding ruang timpanik oleh ligamen. Membran timpani memisahkan telinga tengah dari kanalis auditorius eksternal. Vibrasi membran menyebabkan tulang-tulang bergerak dan mentransmisikan gelombang bunyi melewati ruang ke jendela lonjong. Vibrasi kemudian bergerak melalui cairan dalam telinga tengah dan merangsang reseptor pendengaran. Bagian membran yang tegang yaitu pars tensa sedangkan sedikit tegang adalah pars flaksida. Perubahan atrofik pada membran karena proses penuaan mengakibatkan penampilan dangkal, teregang, putih atau abu-abu. Perubahan ini tidak mempunyai pengaruh jelas pada pendengaran.

3. Telinga dalam ( labirin )
Labirin tulang dibagi dalam tiga area : vestibula, kanalis semisirkularis dan koklea. Koklea adalah struktur yang menggulung berisis organ Corti, unit fungsional pendengaran. Sel-sel rambut organ Corti dibengkokkan dan diubah oleh vibrasi kemudian diubah menjadi impuls-impuls elektrokimia. Perubahan-perubahan degeneratif pada koklea dan neuron jaras auditorius mengakibatkan presbikusis, bilateral, penurunan pendengaran sensorineural yang dimulai pada usia pertengahan. (Lueckenotte,1997)

B. Definisi
Presbiakusis adalah hilangnya pendengaran terhadap nada murni berfrekuensi tinggi, yang merupakan suatu fenomena yang berhubungan dengan lanjutnnya usia. (Boedhi & Hadi, 1999).
Presbiakusis adalah penurunan pendengaran normal berkenaan dengan proses penuaan. (Lueckenotte, 1997).

C. Perubahan Fungsi Pendengaran Berhubungan dengan Usia Lanjut
Perubahan-perubahan dalam struktur dan fungsi pada telinga bagian dalam membuat sulit untuk memahami tipe bunyi bicara tertentu dan menyebabkan intoleran terhdap bunyi keras. Bunyi-bunyi yang biasanya hilang pertama kali adalah: f, s, th, ch dan sh. Saat penurunan pendengaran berlanjut, kemampuan untuk mendengar bunyi b, t, p, k dan t juga rusak. (Luekenotte, 1997)

D. Etiologi
1. Internal
Degenerasi primer aferen dan eferen dari koklea, degenerasi primer organ corti penurunan vascularisasi dari reseptor neuro sensorik mungkin juga mengalami gangguan. Sehingga baik jalur auditorik dan lobus temporalis otak sering terganggu akibat lanjutnya usia.
2. Eksternal
Terpapar bising ynag berlebihan, penggunaan obat ototoksik dan reaksi pasca radang. (Boedhi & Hadi, 1999)

E. Tanda dan Gejala
Beberapa dari tanda dan gejala yang paling umum dari penurunan pendengaran :
1. Kesulitan mengerti pembicaraan
2. Ketidakmampuan untuk mendengarkan bunyi-bunyi dengan nada tinggi.
3. Kesulitan membedakan pembicaraan; bunyi bicara lain yang parau atau bergumam
4. Masalah pendengaran pada kumpulan yang besar, terutama dengan latar belakang yang bising
5. Latar belakang bunyi berdering atau berdesis yang konstan
6. Perubahan kemampuan mendengar konsonan seperti s, z, t, f dan g
7. Suara vokal yang frekuensinya rendah seperti a, e, i, o, u umumnya relatif diterima dengan lengkap. (Luekenotte, 1997)

ASUHAN KEPERAWATAN SEPTUM DEVIASI

Definisi :
Suatu kelainan dari bentuk hidung yang tidak lurus sempurna digaris tengah.
Bentuk septum normal ialah lurus di tengah rongga hidung. Deviasi septum yang ringan tidak akan mengganggu, akan tetapi bila deviasi itu cukup berat, menyebabkan penyempitan pada satu sisi hidung. Dengan demikian dapat mengganggu fungsi hidung dan menyebabkan komplikasi.

Etiologi
Penyebab yang paling sering adalah trauma. Trauma dapat terjadi sesudah lahir, pada waktu partus atau bahkan pada masa janin intra uterin. Penyebab lainnya adalah ketidakseimbangan pertumbuhan. Tulang rawan septum nasi terus tumbuh, meskipun batas superior dan inferior telah menetap. Dengan demikian terjadilah deviasi pada septum nasi tersebut.
Bentuk Deformitos
Bentuk deformitos septum ialah :
 Berbentuk huruf C atau S
 Dislokasi yaitu bagian bawah kartilago septum keluar dari krista maksila dan masuk ke dalam rongga hidung
 Penonjolan tulang atau tulang rawan septum, bila memanjang dari depan kebelakang disebut krista, dan bila sangat runcing dan pipih disebut spina
 Bila deviasi atau krista septum bertemu dan melekat dengan konka dihadapannya disebut sinekia.

Gejala Klinik
Keluhan yang paling sering pada deviasi septum aialh sumbatan hidung. Sumbatan bisa unilateral, dapat pula bilateral, sebab pada sisi deviasi terdapat konka hipotrofi, sebagai akibat mekanisme kompensasi. Keluhan lainnya ialah rasa nyeri dikepala dan disekitar mata. Selain dari itu penciuman bisa terganggun apabila terdapat deviasi pada bagian atas septum. Deviasi septum dapat menyumbat ostium sinus, sehingga merupakan faktor predisposisi terjadinya sinusitis.

Terapi
Bila gejala tidak ada atau keluhan sangat ringan, tidak perlu dilakukan tindakan koreksi septum. Ada 2 jenis tindakan opertaif yang dapat dilakukan pada pasien dengan keluhan yang nyata yaitu reseksi submukosa dan septoplasti.

Reseksi submukosa :
Pada operasi ini muko perikondrium dan mukoperiostium kedua sisi dilepaskan dari tulang rawan dan tulangs eptum. Bagian tulang atau tulang rawan dari eptum kemudian diangkat, sehingga muoperikondrium dan mukoperiostium sisi kiri kanan akan langsung bertemu digaris tengah. Reaksi submukosa dapat menyebabkan komplikasi seperti terjadninya hidung pelana (saddle nose) akibat turunnya puncak hidung. Oleh karena bagian atas tulang rawan septum terlalu banyak diangkat.

Septoplasti atau reposisi septum
Pada operasi ini tulang rawan yang bengkok direposisi. Hanya bagian yang berlebihan saja yang dikeluarkan. Dengan cara operasi ini dapat dicegah komplikasi yang mungkin timbul pada operasi reseksi submukosa, seperti terjadinya perforasi septum dan hidung pelana.

ASUHAN KEPERAWATAN FARINGITIS

I. FARINGITIS
A. DEFINISI
Adalah peradangan pada mukosa faring.
(Efiaty Arsyad S,Dr,Sp.THT, 2000)

B. ETIOLOGI/ PATOFISIOLOGI
Etiologi faringitis akut adalah bakteri atau virus yang ditularkan secara droplet infection atau melalui bahan makanan / minuman / alat makan. Penyakit ini dapat sebagai permulaan penyakit lain, misalnya : morbili, Influenza, pnemonia, parotitis , varisela, arthritis, atau radang bersamaan dengan infeksi jalan nafas bagian atas yaitu: rinitis akut, nasofaringitis, laryngitis akut, bronchitis akut. Kronis hiperplastik terjadi perubahan mukosa dinding posterior faring. Tampak mukosa menebal serta hipertropi kelenjar limfe dibawahnya dan dibelakang arkus faring posterior (lateral band). Adanya mukosa dinding posterior tidak rata yang disebut granuler.
Sedangkan faringitis kronis atropi sering timbul bersama dengan rinitis atropi, udara pernafasan tidak diatur suhu serta kelembabannya, sehingga menimbulkan rangsangan serta infeksi pada faring.


Klik Gambar Untuk memperbesar


Faringitis kronis
Faktor predisposisi:
- Rinitis kronis
- Sinusitis
- Iritasi kronik pada perokok dan peminum alkohol
- Inhalasi uap pada pekerja dan laboratorium
- Orang yang sering bernafas dengan mulut karena hidungnya tersumbat.

a. Faringitis kronis hiperplastik
a.1 Gejala :
- Pasien mengeluh gatal ditenggorokan
- Berasa kering
- Berlendir
- Kadang - kadang ada batuk
a.2 Terapi :
- Dicari dan diobati adanya penyalkit kronis dihidung dan sinus paranasal
- Terapi lokal dengan menggosokkan zat kimia (kaustik) yaitu : larutan nitres argenti atau albotil maupun dengan listrik (elektrocauter)
- Secara simptomatik, diberikan obat isap / kumur dan obat batuk

b. Faringitis kronis atropi (faringitis sika)
b.1 Gejala dan tanda :
- Pasien mengeluh tenggorokan kering dan tebal
- Mulut berbau
- Pada pemeriksaan tampak mukosa faring terdapat lendir yang melekat
- Jika lendir diangkat mukosa tampak kering
b.2 Terapi:
- Sama dengan rinitis atropi
- Pemberian obat kumur
- Penjagaan hygiene mulut
- Obat simptomatik

Faringitis Spesifik
a. Faringitis Leutika
a.1 Gejala dan tanda :
a.1.1 Stadium primer :
- Bercak keputihan pada lidah, palatum mole, tonsil dan dinding faring posterior
- Timbul ulkus karena infeksi yang lama
- Pembesaran kelenjar mandibula yang tidak nyeri tekan
a.2.1 Stadium sekunder :
- jarang ditemukan
- Terdapat eritema pada dinding faring yang menjalar kearah laring
a.3.1 Stadium tersier :
- Terdapat guma pada tonsil dan palatum
- Guma pada dinding faring pada posterior akan mengenai vertebra servikal
- Gangguan fungsi palatum secara permanen akibat adanya guma pada palatum mole
a.2 Diagnosis : dengan pemeriksaan serologic
a.3 Terapi : Obat pilihan utama pinissilin dalam dosis tinggi

b. Faringitis Tuberkolusa
b.1 Cara infeksi :
- Cara eksogen yaitu kontak dengan sputum yang mengandung kuman atau inhalasi kuman melalui udara
- Cara endogen yaitu penyebaran melalui darah pada tuberkolusis miliaris
Penelitian saat ini menemukan penyebaran secara limfogen
b.2 Bentuk dan tempat lesi
- Berbentuk ulkus pada satu sisi tonsil dan jaringan tonsil itu akan mengalami nekrosis
- Pada infeksi secara hematogen tonsil dapat terkena pada kedua sisi terutama pada dinding faring posterior, arkus faring anterior, dinding lateral hipofaring, palatum mole dan palatum durum
- Kelenjar regional leher membengkak
b.3 Gejala:
- Pasien mengeluh nyeri hebat ditenggorokan
- Keadaan buruk : anoreksi, nyeri menelan makanan
- Regurgitasi
- Nyeri di telinga (otalgia) Adenopati servikal
b.4 Diagnosis :
- Pemeriksaan sputum untuk mengetahui basil tahan asam
- Fotothorak untuk melihat adanya tuberkolusis paru
- Biopsi jaringan untuk mengetahui proses keganasan serta mencari basil tahan asam di jaringan
b.5 Terapi: sesuai dengan terapi tuberkolusis paru

II. ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Data Dasar
2. Riwayat Kesehatan.
3. Pemeriksaan Fisik
Pada farmgitis kronis , pengkajian head to toe yang dilakukan lebih difokuskan pada:
a. Sistem pernafasan :
Batuk, sesak
B. Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi ditandai dengan rubor, dolor, kalor, tumor, fungsiolaesa pada mukosa
Tujuan : Nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan dan kolaboratif untuk pemberian analgetik
Intervensi Keperawatan:
a. Kaji lokasi,intensitas dan karakteristik nyeri
b. Identifikasi adanya tanda-tanda radang
c. Monitor aktivitas yang dapat meningkatkan nyeri
d. Kompres es di sekitar leher
e. Kolaborasi untuk pemberian analgetik

2. Gangguan nutrisi (kurang dari kebutuhan) berhubungan dengan intake yang kurang sekunder dengan kesulitan menelan ditandai dengan penurunan berat badan, pemasukan makanan berkurang, nafsu makan kurang, sulit untuk menelan, HB kurang dari normal
Tujuan: gangguan pemenuhan nutrisi teratasi setelah dilakukan asuhan keperawatan yang efektif
Intervensi Keperawatan :
a. Monitor balance intake dengan output
b. Timbang berat badan tiap hari
c. Berikan makanan cair / lunak
d. Beri makan sedikit tapi sering
e. Kolaborasi pemberian roborantia

3. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekret yang kental ditandai dengan kesulitan dalam bernafas, batuk terdapat kumpulan sputum, ditemukan suara nafas tambahan
Tujuan: bersihan jalan nafas efektif ditujukkan dengan tidak ada sekret yang berlebihan
Intervensi Keperawatan :
a. Identifikasi kualitas atau kedalaman nafas pasien
b. Monitor suara nafas tambahan
c. Anjurkan untuk minum air hangat
d. Ajari pasien untuk batuk efektif
e. Kolaborasi untuk pemberian ekspektoran

4. Resiko tinggi defisit volume cairan berhubungan dengan demam, ketidakcukupan pemasukan oral ditandai dengan turgor kulit kering, mukosa mulut kering, keluar keringat berlebih
Tujuan: Resiko tinggi defisit volume cairan dapat dihindari
Intervensi Keperawatan :
a. Monitor intake dan output cairan
b. Monitor timbulnya tanda-tanda dehidrasi
c. Berikan intake cairan yang adekuat
d. Kolaborasi pemberian cairan secara parenteral (jika diperlukan)

5. Resiko tinggi penularan penyakit berhubungan dengan kontak, penularan melalui udara
Tujuan: Resiko tinggi penularan penyakit dapat dihindari
Intervensi keperawatan
Mengajarkan pasien tentang pentingnya peningkatan kesehatan dan pencegahan infeksi lebih lanjut:
a. Menganjurkan pasien untuk istirahat
b. Menghindari kontak langsung dengan orang yang terkena infeksi pernafasan
c. Menutup mulut bila batuk / bersin
d. Mencuci tangan
e. Makan- makan bergisi
f. Menghindari penyebab iritasi
g. Oral hygine

6. Perubahan suhu tubuh berhubungan dengan dehidrasi, inflamasi ditandai dengan suhu tubuh lebih dari normal, pasien gelisah, demam
Tujuan: Suhu tubuh dalam batas normal, adanya kondisi dehidrasi, inflamasi teratasi
Intervensi keperawatan
a. Ukur tanda-tanda vital
b. Monitor temperatur tubuh secara teratur
c. Identifikasi adanya dehidrasi, peradangan
d. Kompres es disekitar leher
e. Kolaborasi pemberian antibiotik, antipiretik


DAFTAR PUSTAKA

Efiaty Arsyad S,Dr,Sp.THT, 2000, Buku Ajar Ulmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorokan, Balai Penerbit FKUI, Jakarta

Sabiston David. C, Jr. M.D, 1994, Buku Ajar Bedah, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta

ASUHAN KEPERAWATAN OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK MALIGNA

I. Pengertian
Infeksi kronis di telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah terus-menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin encer atau kental, bening atau berupa nanah (Syamsuhidajat, 1997).


Klik Gambar Untuk memperbesar


III. Pemeriksaan :
a. Anamnesis
Keluhan utama dapat berupa :
1. Gangguan pendengaran/pekak.
Bila ada keluhan gangguan pendengaran, perlu ditanyakan :
 Apakah keluhan tsb. pada satu telinga atau kedua telinga, timbul tiba-tiba atau bertambah secara bertahap dan sudah berapa lamanya.
 Apakah ada riwayat trauma kepala, telinga tertampar, trauma akustik atau pemekaian obat ototoksik sebelumnya.
 Apakah sebelumnya pernah menderita penyakit infeksi virus seperti parotitis, influensa berat dan meningitis.
 Apakah gangguan pendengaran ini diderita sejak bayi , atau pada tempat yang bising atau pada tenpat yang tenang.

2. Suara berdenging/berdengung (tinitus)
 Keluhan telinga berbunyi dapat berupa suara berdengung atau berdenging yang dirasakan di kepala atau di telinga, pada satu sisi atau kedua telinga.
 Apakah tinitus ini menyertai gangguan pendengaran.

3. Rasa pusing yang berputar (vertigo).
Dapat sebagai keluhan gangguan keseimbangan dan rasa ingin jatuh.
 Apakah keluhan ini timbul pada posisi kepala tertentu dan berkurang bila pasien berbaring dan timbul lagi bila bangun dnegan gerakan cepat.
 Apakah keluhan vertigo ini disertai mual, muntah, rasa penuh di telinga dan telinga berdenging yang mungkin kelainannya terdapat di labirin atau disertai keluhan neurologis seperti disentri, gangguan penglihatan yang mungkin letak kelainannya di sentral. Kadang-kadang keluhan vertigo akan timbul bila ada kekakuan pergerakan otot-oto leher. Penyakit DM, hipertensi, arteriosklerosis, penyakit jantung, anemia, kanker, sifilis, dapat menimbulkan keluhan vertigo dan tinitus.

4. Rasa nyeri di dalam telinga (Otalgia)
 Apakah pada telinga kiri/kanan dan sudah berapa lama.
 Nyeri alihan ke telinga dapat berasal dari rasa nyeri gigi, sendi mulut, tonsil, atau tulang servikal karena telinga di sarafi oleh saraf sensoris yang berasal dari organ-organ tersebut.

5. Keluar cairan dari telinga (otore)
 Apakah sekret keluar dari satu atau kedua telinga, disertai rasa sakit atau tidak dan sudah berapa lama.
 Sekret yang sedikit biasanya berasal dari infeksi telinga luar dan sekret yang banyak dan bersifat mukoid umumnya berasal dari teklinga tengah. Bila berbau busuk menandakan adanya kolesteatom. Bila bercampur darah harus dicurigai adanya infeksi akut yang berat atau tumor. Bila cairan yang keluar seperti air jernih harus waspada adanya cairan liquor serebrospinal.

b. Tes audiometrik.
Merupakan pemeriksaan fungsi untuk mengetahui sensitivitas (mampu mendengar suara) dan perbedaan kata-kata (kemampuan membedakan bunyi kata-kata), dilaksanakan dnegan bantuan audiometrik.
Tujuan :
1. Menentukan apakah seseorang tidak mendengar.
2. Untuk mengetahui tingkatan kehilangan pendengaran.
3. Tingkat kemampuan menangkap pembicaraan.
4. Mengethaui sumber penyebab gangguan pada telinga media (gangguan konduktif) dari telinga tengah (sistem neurologi).
Pendengaran dapat didintifikasikan pada saat nol desibel naik sebelum seseorang mendengar suara frekuensi yang spesifik. Bunyi pada tik nol terdengar oleh orang yang pendengarannya normal. Sampai ke-20 db dianggap dalam tingakt normal.

IV. Terapi OMSK
Tidak jarang memerlukan waktu lama serta harus berulang-ulang. Sekret yang keluar tidak cepat kering atau selalu kambuh lagi. Keadaan ini antara lain di sebabkan oleh satu atau beberapa keadaan, yaitu :
1. Adanya perforasi membran timpani yang permanen sehingga telinga tengah berhubungan dengan dunia luar.
2. Terdapat sumber infeksi di laring, nasofaring, hidung dan sinus paranasal.
3. Sudah terbentuk jaringan patologik yang ireversibel dalam rongga mastoid.
4. Gizi dan higiene yang kurang.
Prinsip terapi OMSK tipe maligna adalah pembedahan, yaitu mastoidektomi. Jadi, bila terdapat OMSK tipe maligna maka terapi yang tepat ialah dengan melakukan mastoidektomi dengan atau tanpa timpanoplasti. Terapi konservatif dengan medikamentosa hanyalah merupakan terapi sementara sebelum dilakukan pembedahan.
Bila terdapat abses subperiosteal retroaurikuler, maka insisi abses sebaiknya dilakukan tersendiri sebelum kemudian dilakukan mastoidektomi (sederhana atau radikal).
Tujuan operasi ini untuk membuang semua jaringan patologik dan mencegah komplikasi ke intrakranial. Fungsi pendengaran tidak diperbaiki. Kerugian operasi ini adalah pasien tidak diperbolehkan berenang seumur hidupnya. Pasien harus datang dengan teratur untuk kontrol supaya tidak terjadi infeksi kembali. Pendengaran berkurang sekali sehingga dapat menghambat pendidikan atau karier pasien.

Modifikasi operasi ini ialah dengan memasang tandur (graft) pada rongga operasi serta membuat meatal-plasty yang lebar, sehingga rongga operasi kering permanen, tetapi terdapat cacat anatomi, yaitu meatus luar liang telinga menjadi lebar.

iV. Tindakan Pembedahan
Timpanoplasti dengan pendekatan Ganda (Combined Approach Tympanoplasty)
Operasi ini merupakan teknik operasi timpanoplasti yang dikerjakan pada kasus OMSK tipe maligna atau OMSK tipe benigna dnegan jaringan granulasi yang luas. Tujuan opeasi ini untuk menyembuhkan penyakit serta memperbaiki pendengaran tanpa melakukan teknik matoidektomi radikal (tampa meruntuhkan dinding posterior liang telinga.
Membersihkan kolesteatom dan jaringan granulasi di kavum timpani di kerjakan melalui 2 jalan (combined approach) yaitu melalui liang telinga dan rongga mastoid dengan melakukan timpanotomi posterior. Tehnik operasi ini pada OMSK tipe maligna belum disepakati oleh para ahli karena sering terjadi kambuhnya kolesteatoma kembali.

B. Fokus Pengkajian :
Data Subyektif :
Tanda-tanda dan gejala utama infeksi ekstrena dan media adalah neyeri serta hilangnya pendengaran. Data harus disertai pernyataan mengenai mulai serangan, lamanya, tingakt nyerinya. Rasa nyeri timbul karena adanya tekanan kepada kulit dinding saluran yang sangat sensitif dan kepada membran timpani oleh cairan getah radang yang terbentuk didalam telinga tengah. Saluran eksterna yang penuh dan cairan di telinga tengah mengganggu lewatnya gelombang suara, hal ini menyebabkan pendengaran berkurang.
Penderita dengan infeksi telinga perlu ditanya apakah ia mengerti tentang cara pencegahannya.

Data Obyektif :
Telinga eksterna dilihat apakah ada cairan yang keluar dan bila ada harus diterangkan. Palpasi pada telinga luar menimbulkan nyeri pada otitis eksterna dan media.
Pengkajian dari saluran luar dan gedang telinga (membran timpani). Gendang telinga sangat penting dalam pengkajian telinga, karena merupakan jendela untuk melihat proses penyakit pada telinga tengah. Membran timpani yang normal memperlihatkan warna yang sangat jelas, terlihat ke abu-abuan. Terletak pada membran atau terlihat batas-batasnya. Untuk visulaisasi telinga luar dan gendang telinga harus digunakan otoskop.
Bagian yang masuk ke telinga disebut speculum (corong) dan dengan ini gendang telinga dapat terlihat, untuk pengkajian yang lebih cermat perlu dipakai kaca pembesar. Otoskop dipakai oleh orang yang terlatih, termasuk para perawat.

C. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan berkomunikasi berhubungan dengan efek kehilangan pendengaran.
Tujuan : Gangguan komunikasi berkurang / hilang.
Kriteria hasil :
 Klien akan memakai alat bantu dengar (jika sesuai).
 Menerima pesan melalui metoda pilihan (misal : komunikasi tulisan, bahasa lambang, berbicara dengan jelas pada telinga yang baik.
Intervensi Keperawatan :
1. Dapatkan apa metode komunikasi yang dinginkan dan catat pada rencana perawatan metode yang digunakan oleh staf dan klien, seperti :
 Tulisan
 Berbicara
 Bahasa isyarat.
2. Kaji kemampuan untuk menerima pesan secara verbal.
a. Jika ia dapat mendegar pada satu telinga, berbicara dengan perlahan dan dengan jelas langsung ke telinga yang baik (hal ini lebih baik daripada berbicara dengan keras).
 Tempatkan klien dengan telinga yang baik berhadapan dengan pintu.
 Dekati klien dari sisi telinga yang baik.
b. Jika klien dapat membaca ucapan :
 Lihat langsung pada klien dan bicaralah lambat dan jelas.
 Hindari berdiri di depan cahaya karena dapat menyebabkan klien tidak dapat membaca bibi anda.
c. Perkecil distraksi yang dapat menghambat konsentrasi klien.
 Minimalkan percakapan jika klien kelelahan atau gunakan komunikasi tertulis.
 Tegaskan komunikasi penting dengan menuliskannya.
d. Jika ia hanya mampu bahasa isyarat, sediakan penerjemah. Alamatkan semua komunikasi pada klien, tidak kepada penerjemah. Jadi seolah-olah perawat sendiri yang langsung berbicara kepada klien dnegan mengabaikan keberadaan penerjemah.
3.Gunakan faktor-faktor yang meningkatkan pendengaran dan pemahaman.
 Bicara dengan jelas, menghadap individu.
 Ulangi jika klien tidak memahami seluruh isi pembicaraan.
 Gunakan rabaan dan isyarat untuk meningkatkan komunikasi.
 Validasi pemahaman individu dengan mengajukan pertanyaan yang memerlukan jawaban lebih dari ya dan tidak.
Rasional :
1. Dengan mengetahui metode komunikasi yang diinginkan oleh klien maka metode yang akan digunakan dapat disesuaikan dengan kemampuan dan keterbatasan klien.
2. Pesan yang ingin disampaikan oleh perawat kepada klien dapat diterima dengan baik oleh klien.
3. Memungkinkan komunikasi dua arah anatara perawat dengan klien dapat berjalan dnegan baik dan klien dapat menerima pesan perawat secara tepat.

2. Perubahan persepsi/sensoris berhubungan dnegan obstruksi, infeksi di telinga tengah atau kerusakan di syaraf pendengaran.
Tujuan : Persepsi / sensoris baik.
Kriteria hasil.
 Klien akan mengalami peningkatan persepsi/sensoris pendengaran samapi pada tingkat fungsional.
Intervensi Keperawatan :
1. Ajarkan klien untuk menggunakan dan merawat alat pendengaran secara tepat.
2. Instruksikan klien untuk menggunakan teknik-teknik yang aman sehingga dapat mencegah terjadinya ketulian lebih jauh.
3. Observasi tanda-tanda awal kehilangan pendengaran yang lanjut.
4. Instruksikan klien untuk menghabiskan seluruh dosis antibiotik yang diresepkan (baik itu antibiotik sistemik maupun lokal).
Rasional :
1. Keefektifan alat pendengaran tergantung pada tipe gangguan/ketulian, pemakaian serta perawatannya yang tepat.
2. Apabila penyebab pokok ketulian tidak progresif, maka pendengaran yang tersisa sensitif terhadap trauma dan infeksi sehingga harus dilindungi.
3. Diagnosa dini terhadap keadaan telinga atau terhadap masalah-masalah pendengaran rusak secara permanen.
4. Penghentian terapi antibiotika sebelum waktunya dapat menyebabkan organisme sisa berkembang biak sehingga infeksi akan berlanjut.

3. Cemas berhubuangan dengan prosedur operasi, diagnosis, prognosis, anestesi, nyeri, hilangnya fungsi, kemungkinan penurunan pendengaran lebih besar setelah operasi.
Tujuan : Rasa cemas klien akan berkurang/hilang.
Kriteria hasil :
 Klien mampu mengungkapkan ketakutan/kekuatirannya.
 Respon klien tampak tersenyum.
Intervensi Keperawatan :
1. Jujur kepada klien ketika mendiskusikan mengenai kemungkinan kemajuan dari fungsi pendengarannya untuk mempertahankan harapan klien dalam berkomunikasi.
2. Berikan informasi mengenai kelompok yang juga pernah mengalami gangguan seperti yang dialami klien untuk memberikan dukungan kepada klien.
3. Berikan informasi mengenai sumber-sumber dan alat-lat yang tersedia yang dapat membantu klien.
Rasional :
1. Menunjukkan kepada klien bahwa dia dapat berkomunikasi dengan efektif tanpa menggunakan alat khusus, sehingga dapat mengurangi rasa cemasnya.
2. Harapan-harapan yang tidak realistik tiak dapat mengurangi kecemasan, justru malah menimbulkan ketidak percayaan klien terhadap perawat.
3. Memungkinkan klien untuk memilih metode komunikasi yang paling tepat untuk kehidupannya sehari-hari disesuaikan dnegan tingkat keterampilannya sehingga dapat mengurangi rasa cemas dan frustasinya.
4. Dukungan dari bebarapa orang yang memiliki pengalaman yang sama akan sangat membantu klien.
5. Agar klien menyadari sumber-sumber apa saja yang ada disekitarnya yang dapat mendukung dia untuk berkomunikasi.

DAFTAR PUSTAKA

Dunna, D.I. Et al. 1995. Medical Surgical Nursing ; A Nursing Process Approach 2 nd Edition : WB Sauders.

Makalah Kuliah THT. Tidak dipublikasikan

Rothrock, C. J. 2000. Perencanaan Asuhan Keperawatan Perioperatif. EGC : Jakarta.

Sjamsuhidajat & Wim De Jong. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC : Jakarta.

Soepardi, Efiaty Arsyad & Nurbaiti Iskandar. 1998. Buku Ajar Ilmu penyakit THT. FKUI : Jakarta.

ASUHAN KEPERAWATAN ANGIOFIBROMA NASOFARING BELIA

A. PENGERTIAN
Angiofibroma nasofaring belia adalah sebuah tumor jinak nasofaring yang cenderung menimbulkan perdarahan yang sulit dihentikan dan terjadi pada laki-laki prepubertas dan remaja.
Angiofibroma nasofaring belia merupakan neoplasma vaskuler yang terjadi hanya ada laki-laki, biasanya selama masa prepubertas dan remaja
Umumnya terdapat pada rentang usia 7 s/d 21 tahun dengan insidens terbanyak antara usia 14-18 tahun dan jarang pada usia diatas 25 tahun.
Tumor ini merupakan tumor jinak nasofaring terbanyak dan 0,05% dari seluruh tumor kepala dan leher

B. ETIOLOGI
Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai jenis teori banyak diajukan. Diantaranya teori jaringan asal dan faktor ketidak-seimbangan hormonal.
Secara histopatologi tumor ini termasuk jinak tetapi secara klinis ganas karena bersifat ekspansif dan mempunyai kemampuan mendestruksi tulang. Tumor yang kaya pembuluh darah ini memperoleh aliran darah dari arteri faringealis asenden atau arteri maksilaris interna. Angiofibroma kaya dengan jaringan fibrosa yang timbul dari atap nasofaring atau bagian dalam dari fossa pterigoid. Setelah mengisi nasofaring, tumor ini meluas ke dalam sinus paranasal, rahang atas, pipi dan orbita serta dapat meluas ke intra kranial setelah mengerosi dasar tengkorak .

C. TANDA DAN GEJALA
Gejala klinik terdiri dari hidung tersumbat (80-90%); merupakan gejala yang paling sering, diikuti epistaksis (45-60%); kebanyakan unilateral dan rekuren, nyeri kepala (25%); khususnya bila sudah meluas ke sinus paranasal, pembengkakan wajah (10-18%) dan gejala lain seperti anosmia, rhinolalia, deafness, pembengkakan palatum serta deformitas pipi. Tumor ini sangat sulit untuk di palpasi, palpasi harus sangat hati-hati karena sentuhan jari pada permukaan tumor dapat menimbulkan perdarahan yang ekstensif.

D. PENEGAKAN DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang seperti x-foto polos, CT scan, angiografi atau MRI. Dijumpai tanda Holman-Miller pada pemeriksaan x-foto polos berupa lengkungan ke depan dari dinding posterior sinus maksila4. Biopsi tidak dianjurkan mengingat resiko perdarahan yang masif dan karena teknik pemeriksaan radiologi yang modern sekarang ini dapat menegakkan diagnosis dengan tingkat ketepatan yang tinggi.
Tumor ini dapat didiagnosis banding dengan polip koana, adenoid hipertrofi, dan lain-lain.

E. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan tumor ini adalah dengan pembedahan; dimana 6-24% rekuren, stereotactic radioterapi; digunakan jika ada perluasan ke intrakranial atau pada kasus-kasus yang rekuren.
Penatalaksanaan tumor ini adalah dengan pembedahan yang sering didahului oleh embolisasi intra-arterial 24-48 jam preoperatif yang berguna untuk mengurangi perdarahan selama operasi2,4,5. Material yang digunakan untuk embolisasi ini terdiri dari mikropartikel reabsorpsi seperti Gelfoam, Polyvinyl alcohol atau mikropartikel nonabsorpsi seperti Ivalon dan Terbal. Penggunaan embolisasi ini tergantung pada ahli bedah masing-masing.

F. KOMPLIKASI
Komplikasi yang timbul dapat berupa perdarahan yang berlebihan dan transformasi maligna.

G. STADIUM ANGIOFIBROMA
Untuk menentukan perluasan tumor, dibuat sistem staging. Ada 2 sistem yang paling sering digunakan yaitu Sessions dan Fisch.
Klasifikasi menurut Sessions sebagai erikut :
1. Stage IA : Tumor terbatas pada nares posterior dan/atau nasofaring
2. Stage IB : Tumor melibatkan nares posterior dan/atau nasofaring dengan perluasan ke satu sinus paranasal.
3. Stage IIA : Perluasan lateral minimal ke dalam fossa pterygomaksila.
4. Stage IIB : Mengisi seluruh fossa pterygomaksila dengan atau tanpa erosi ke tulang orbita.
5. Stage IIIA : Mengerosi dasar tengkorak; perluasan intrakranial yang minimal.
6. Stage IIIB : Perluasan ke intrakranial dengan atau tanpa perluasan ke dalam sinus kavernosus.

Klasifikasi menurut Fisch :
1. Stage I : Tumor terbatas pada kavum nasi, nasofaring tanpa destruksi tulang.
2. Stage II :Tumor menginvasi fossa pterygomaksila, sinus paranasal dengan destruksi tulang.
3. Stage III :Tumor menginvasi fossa infra temporal, orbita dan/atau daerah parasellar sampai sinus kavernosus.
4. Stage IV : Tumor menginvasi sinus kavernosus, chiasma optikum dan/atau fossa pituitary.

H. PENGKAJIAN
a. Faktor herediter atau riwayat kanker pada keluarga misal ibu atau nenek dengan riwayat kanker payudara
b. Lingkungan yang berpengaruh seperti iritasi bahan kimia, asap sejenis kayu tertentu.
c. Kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu dan kebiasaan makan makanan yang terlalu panas serta makanan yang diawetkan ( daging dan ikan).
d. Golongan sosial ekonomi yang rendah juga akan menyangkut keadaan lingkungan dan kebiasaan hidup. (Efiaty & Nurbaiti, 2001 hal 146)
e. Tanda dan gejala :
 Aktivitas
Kelemahan atau keletihan. Perubahan pada pola istirahat; adanya faktor-faktor yang mempengaruhi tidur seperti nyeri, ansietas.

 Sirkulasi
Akibat metastase tumor terdapat palpitasi, nyeri dada, penurunan tekanan darah, epistaksis/perdarahan hidung.

 Integritas ego
Faktor stres, masalah tentang perubahan penampilan, menyangkal diagnosis, perasaan tidak berdaya, kehilangan kontrol, depresi, menarik diri, marah.

 Eliminasi
Perubahan pola defekasi konstipasi atau diare, perubahan eliminasi urin, perubahan bising usus, distensi abdomen.

 Makanan/cairan
Kebiasaan diit buruk ( rendah serat, aditif, bahanpengawet), anoreksia, mual/muntah, mulut rasa kering, intoleransi makanan,perubahan berat badan, kakeksia, perubahan kelembaban/turgor kulit.

 Neurosensori
Sakit kepala, tinitus, tuli, diplopia, juling, eksoftalmus

 Nyeri/kenyamanan
Rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri telinga (otalgia), rasa kaku di daerah leher karena fibrosis jaringan

 Pernapasan
Merokok (tembakau, mariyuana, hidup dengan seseorang yang merokok)

 Keamanan
Pemajanan pada kimia toksik, karsinogen, pemajanan matahari lama / berlebihan, demam, ruam kulit.

 Interaksi sosial
Ketidakadekuatan/kelemahan sistem pendukung
(Doenges, 2000)

H. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi
Nyeri berhubungan dengan kompresi/destruksi karingan saraf
Tujuan : rasa nyeri teratasi atau terkontrol
Kriteria hasil : mendemonstrasikan penggunaan ketrampilan relaksasi nyeri .
Intervensi :
 Tentukan riwayat nyeri misalnya lokasi, frekuensi, durasi
 Berikan tindakan kenyamanan dasar (reposisi, gosok punggung) dan aktivitas hiburan.
 Dorong penggunaan ketrampilan manajemen nyeri (teknik relaksasi, visualisasi, bimbingan imajinasi) musik, sentuhan terapeutik.
 Evaluasi penghilangan nyeri atau kontrol
 Kolaborasi : berikan analgesik sesuai indikasi misalnya Morfin, metadon atau campuran narkotik.

2. Gangguan sensori persepsi berubungan dengan gangguan status organ sekunder
Tujuan : mampu beradaptasi terhadap perubahan sensori pesepsi
Kriteria hasil : mengenal gangguan dan berkompensasi terhadap perubahan
Intervensi :
 Tentukan ketajaman penglihatan, apakah satu atau dua mata terlibat.
 Orientasikan pasien terhadap lingkungan
 Observasi tanda-tanda dan gejala disorientasi
 Perhatikan tentang suram atau penglihatan kabur
 Bicara dengan gerak mulut yang jelas
 Bicara pada sisi telinga yang sehat

3. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual muntah sekunder
Tujuan : kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi.
Kriteria hasil :
 Melaporkan penurunan mual dan insidens muntah
 Mengkonsumsi makanan dan cairan yang adekuat
 Menunjukkan turgor kulit normal dan membran mukosa yang lembab
 Melaporkan tidak adanya penurunan berat badan tambahan
Intervensi :
 Sesuaikan diet sebelum dan sesudah pemberian obat sesuai dengan kesukaan dan toleransi pasien
 Berikan dorongan higiene oral yang sering
 Berikan antiemetik, sedatif dan kortikosteroid yang diresepkan
 Pastikan hidrasi cairan yang adekuat sebelum, selama dan setelah pemberian obat, kaji masukan dan haluaran.
 Pantau masukan makanan tiap hari.
 Ukur TB, BB dan ketebalan kulit trisep (pengukuran antropometri)
 Dorong pasien untuk makan diet tinggi kalori, kaya nutrien dengan masukan cairan adekuat.
 Kontrol faktor lingkungan (bau dan panadangan yang tidak sedap dan kebisingan)

4. Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan sekunder imunosupresi
Tujuan : tidak terjadi infeksi
Kriteria hasil :
 Menunjukkan suhu normal dan tanda-tanda vital normal
 Tidak menunjukkan tanda-tanda inflamasi : edema setempat, eritema, nyeri.
 Menunjukkan bunyi nafas normal, melakukan nafas dalam untuk menegah disfungsi dan infeksi respiratori
Intervensi :
 Kaji pasienterhadap bukti adanya infeksi :
 Periksa tanda vital, pantau jumlah SDP, tempat masuknya patogen, demam, menggigil, perubahan respiratori atau status mental, frekuensi berkemih atau rasa perih saat berkemih
 Tingkatkan prosedur cuci tangan yang baik pada staf dan pengunjung, batasi pengunjung yang mengalami infeksi.
 Tekankan higiene personal
 Pantau suhu
 Kaji semua sistem (pernafasan, kulit, genitourinaria)

5. Resiko terhadap perdarahan berhubungan dengan gangguan sistem hematopoetik
Tujuan : perdarahan dapat teratasi
Kriteria hasil :
 Tanda dan gejala perdarahan teridentifikasi
 Tidak menunjukkan adanya epistaksis
Intervensi :
 Kaji terhadap potensial perdarahan : pantau jumlah trombosit
 Kaji terhadap perdarahan : epsitaksis
 Instruksikan cara-cara meminimalkan perdarahan : minimalkan penekanan/ gesekan pada hidung

Kepustakaan

1. Averdi R, Umar SD. Angiofibroma Nasofaring Belia. Dalam : Efiaty AS, Nurbaiti I.
2. Buku ajar ilmu kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke 5, Jakarta : Balai Penerbit FK UI, 2001. 151-2.
3. Tewfik TL. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Available from URL : http://www.emedicine.com/ent/topic470.htm
4. Adams GL, et al. Boies – Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1997.
5. Sadeghi N. Sinonasal Papillomas, Treatment. Available from URL : http://www.emedicine.com/ent/topic529.htm
6. Doenges, Marilynn E. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan pendokumentasian Perawatan Pasien. Alih bahasa I Made Kariasa. Ed. 3. Jakarta : EGC;1999
7. Efiaty Arsyad Soepardi & Nurbaiti Iskandar. Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2001
8. R. Sjamsuhidajat &Wim de jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi. Jakarta : EGC ; 1997
4. Smeltzer Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Alih bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC; 2001

ASUHAN KEPERAWATAN SINUSITIS

DEFINISI :
Sinusitis adalah : merupakan penyakit infeksi sinus yang disebabkan oleh kuman atau virus.

ETIOLOGI
a. Rinogen
Obstruksi dari ostium Sinus (maksilaris/paranasalis) yang disebabkan oleh :
• Rinitis Akut (influenza)
• Polip, septum deviasi
b. Dentogen
Penjalaran infeksidari gigi geraham atas
Kuman penyebab :
- Streptococcus pneumoniae
- Hamophilus influenza
- Steptococcus viridans
- Staphylococcus aureus
- Branchamella catarhatis

GEJALA KLINIS :
a. Febris, filek kental, berbau, bisa bercampur darah
b. Nyeri :
- Pipi : biasanya unilateral
- Kepala : biasanya homolateral, terutama pada sorehari
- Gigi (geraham atas) homolateral.
c. Hidung :
- buntu homolateral
- Suara bindeng.
CARA PEMERIKSAAN
a. Rinoskopi anterior :
- Mukosa merah
- Mukosa bengkak
- Mukopus di meatus medius.
b. Rinoskopi postorior
- mukopus nasofaring.
c. Nyeri tekan pipi yang sakit.
d. Transiluminasi : kesuraman pada ssisi yang sakit.
e. X Foto sinus paranasalis
- Kesuraman
- Gambaran “airfluidlevel”
- Penebalan mukosa

PENATALAKSANAAN :
a. Drainage
- Medical :
* Dekongestan lokal : efedrin 1%(dewasa) ½%(anak)
* Dekongestan oral :Psedo efedrin 3 X 60 mg
- Surgikal : irigasi sinus maksilaris.
b. antibiotik diberikan dalam 5-7 hari (untk akut) yaitu :
- ampisilin 4 X 500 mg
- amoksilin 3 x 500 mg
- Sulfametaksol=TMP (800/60) 2 x 1tablet
- Diksisiklin 100 mg/hari.
c. Simtomatik
- parasetamol., metampiron 3 x 500 mg.
d. Untuk kromis adalah :
- Cabut geraham atas bila penyebab dentogen
- Irigasi 1 x setiap minggu ( 10-20)
- Operasi Cadwell Luc bila degenerasi mukosa ireversibel (biopsi)

TINJAUAN KEPERAWATAN
PENGKAJIAN :
1. Biodata : Nama ,umur, sex, alamat, suku, bangsa, pendidikan, pekerjaan,,
2. Riwayat Penyakit sekarang :
3. Keluhan utama : biasanya penderita mengeluh nyeri kepala sinus, tenggorokan.
4. Riwayat penyakit dahulu :
- Pasien pernah menderita penyakit akut dan perdarahan hidung atau trauma
- Pernah mempunyai riwayat penyakit THT
- Pernah menedrita sakit gigi geraham
5. Riwayat keluarga : Adakah penyakit yang diderita oleh anggota keluarga yang lalu yang mungkin ada hubungannya dengan penyakit klien sekarang.
6. Riwayat spikososial
a. Intrapersonal : perasaan yang dirasakan klien (cemas/sedih0
b. Interpersonal : hubungan dengan orang lain.
7. Pola fungsi kesehatan
a. Pola persepsi dan tata laksanahidup sehat
- Untuk mengurangi flu biasanya klien menkonsumsi obat tanpa memperhatikan efek samping
b. Pola nutrisi dan metabolisme :
- biasanya nafsumakan klien berkurang karena terjadi gangguan pada hidung
c. Pola istirahat dan tidur
- selama inditasi klien merasa tidak dapat istirahat karena klien sering pilek
d. Pola Persepsi dan konsep diri
- klien sering pilek terus menerus dan berbau menyebabkan konsepdiri menurun
e. Pola sensorik
- daya penciuman klien terganggu karena hidung buntu akibat pilek terus menerus (baik purulen , serous, mukopurulen).
8. Pemeriksaan fisik
a. status kesehatan umum : keadaan umum , tanda viotal, kesadaran.
b. Pemeriksaan fisik data focus hidung : nyeri tekan pada sinus, rinuskopi (mukosa merah dan bengkak).

Data subyektif :
1. Observasi nares :
a. Riwayat bernafas melalui mulut, kapan, onset, frekwensinya
b. Riwayat pembedahan hidung atau trauma
c. Penggunaan obat tetes atau semprot hidung : jenis, jumlah, frekwensinyya , lamanya.

2. Sekret hidung :
a. warna, jumlah, konsistensi secret
b. Epistaksis
c. Ada tidaknya krusta/nyeri hidung.

3. Riwayat Sinusitis :
a. Nyeri kepala, lokasi dan beratnya
b. Hubungan sinusitis dengan musim/ cuaca.
4. Gangguan umum lainnya : kelemahan

Data Obyektif
1. Demam, drainage ada : Serous
Mukppurulen
Purulen
2. Polip mungkin timbul dan biasanya terjadi bilateral pada hidung dan sinus yang mengalami radang  Pucat, Odema keluar dari hidng atau mukosa sinus
3. Kemerahan dan Odema membran mukosa
4. Pemeriksaan penunjung :
a. Kultur organisme hidung dan tenggorokan
b. Pemeriksaan rongent sinus.

DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri : kepala, tenggorokan , sinus berhubungan dengan peradangan pada hidung
2. Cemas berhubungan dengan Kurangnya Pengetahuan klien tentang penyakit dan prosedur tindakan medis(irigasi sinus/operasi)
3. Ketidakefektifan jalan nafas berhubungan dengan dengan obstruksi /adnya secret yang mengental
4. Gangguan istirahat tidur berhubungan dengan hiidung buntu., nyeri sekunder peradangan hidung
5. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan nafus makan menurun sekunder dari peradangan sinus
6. Gangguan konsep diri berhubungan dengan bau pernafasan dan pilek

PERENCANAAN
1. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan peradangan pada hidung
Tujuan : Nyeri klien berkurang atau hilang
Kriteria hasil :
- Klien mengungkapakan nyeri yang dirasakan berkurang atau hilang
- Klien tidak menyeringai kesakitan

Intervensi

Rasional

a. Kaji tingkat nyeri klien

b. Jelaskan sebab dan akibat nyeri pada klien serta keluarganya

c. Ajarkan tehnik relaksasi dan distraksi

d. Observasi tanda tanda vital dan keluhan klien

e. Kolaborasi dngan tim medis :

1) Terapi konservatif :

- obat Acetaminopen; Aspirin, dekongestan hidung

- Drainase sinus

2) Pembedahan :

- Irigasi Antral :

Untuk sinusitis maksilaris

- Operasi Cadwell Luc.

a. Mengetahui tingkat nyeri klien dalam menentukan tindakan selanjutnya

b. Dengan sebab dan akibat nyeri diharapkan klien berpartisipasi dalam perawatan untuk mengurangi nyeri

c. Klien mengetahui tehnik distraksi dn relaksasi sehinggga dapat mempraktekkannya bila mengalami nyeri

d. Mengetahui keadaan umum dan perkembangan kondisi klien.

e. Menghilangkan /mengurangi keluhan nyeri klien



2. Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan klien tentang penyakit dan prosedur tindakan medis (irigasi/operasi)
Tujuan : Cemas klien berkurang/hilang
Kriteria :
- Klien akan menggambarkan tingkat kecemasan dan pola kopingnya
- Klien mengetahui dan mengerti tentang penyakit yang dideritanya serta pengobatannya.

Intervensi

Rasional

a. Kaji tingkat kecemasan klien

b. Berikan kenyamanan dan ketentaman pada klien :

- Temani klien

- Perlihatkan rasa empati( datang dengan menyentuh klien )

c. Berikan penjelasan pada klien tentang penyakit yang dideritanya perlahan, tenang seta gunakan kalimat yang jelas, singkat mudah dimengerti

d. Singkirkan stimulasi yang berlebihan misalnya :

- Tempatkan klien diruangan yang lebih tenang

- Batasi kontak dengan orang lain /klien lain yang kemungkinan mengalami kecemasan

e. Observasi tanda-tanda vital.

f. Bila perlu , kolaborasi dengan tim medis

a. Menentukan tindakan selanjutnya

b. Memudahkan penerimaan klien terhadap informasi yang diberikan

c. Meingkatkan pemahaman klien tentang penyakit dan terapi untuk penyakit tersebut sehingga klien lebih kooperatif

d. Dengan menghilangkan stimulus yang mencemaskan akan meningkatkan ketenangan klien.

e. Mengetahui perkembangan klien secara dini.

f. Obat dapat menurunkan tingkat kecemasan klien



3. Jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan obtruksi (penumpukan secret hidung) sekunder dari peradangan sinus
Tujuan : Jalan nafas efektif setelah secret (seous,purulen) dikeluarkan
Kriteria :
- Klien tidak bernafas lagi melalui mulut
- Jalan nafas kembali normal terutama hidung

Intervensi

Rasional

a. kaji penumpukan secret yang ada

b. Observasi tanda-tanda vital.

c. Koaborasi dengan tim medis untuk pembersihan sekret

a. Mengetahui tingkat keparahan dan tindakan selanjutnya

b. Mengetahui perkembangan klien sebelum dilakukan operasi

c. Kerjasama untuk menghilangkan penumpukan secret/masalah



4. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan nafus makan menurun sekunder dari peradangan sinus
Tujuan : kebutuhan nutrisi klien dapat terpenuhi
Kriteria :
- Klien menghabiskan porsi makannya
- Berat badan tetap (seperti sebelum sakit ) atau bertambah

Intervensi

Rasional

a. kaji pemenuhan kebutuhan nutrisi klien

b. Jelaskan pentingnya makanan bagi proses penyembuhan

c. Catat intake dan output makanan klien.

d. Anjurkan makan sediki-sedikit tapi sering

e. Sajikan makanan secara menarik

a. Mengetahui kekurangan nutrisi kliem

b. Dengan pengetahuan yang baik tentang nutrisi akan memotivasi meningkatkan pemenuhan nutrisi

c. Mengetahui perkembangan pemenuhan nutrisi klien

d. Dengan sedikit tapi sering mengurangi penekanan yang berlebihan pada lambung

e. Mengkatkan selera makan klien



5. Gangguan istirahat dan tidur berhubungan dengan hidung buntu, nyeri sekunder dari proses peradangan
Tujuan : klien dapat istirahat dan tidur dengan nyaman
Kriteria :
- Klien tidur 6-8 jam sehari

Intervensi

Rasional

a. kaji kebutuhan tidur klien.

b. ciptakan suasana yang nyaman.

c. Anjurkan klien bernafas lewat mulut

d. Kolaborasi dengan tim medis pemberian obat

a. Mengetahui permasalahan klien dalam pemenuhan kebutuhan istirahat tidur

b. Agar klien dapat tidur dengan tenang

c. Pernafasan tidak terganggu.

d. Pernafasan dapat efektif kembali lewat hidung



DAFTAR PUSTAKA

Doenges, M. G. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3 EGC, Jakarta 2000

Lab. UPF Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan tenggorokan FK Unair, Pedoman diagnosis dan Terapi Rumah sakit Umum Daerah dr Soetom FK Unair, Surabaya
Prasetyo B, Ilmu Penyakit THT, EGC Jakarta