Tentunya film dibuat lebih "gelap" bukan tanpa alasan. Seri sebelumnya (Harry Potter and the Half-Blood Prince) diakhiri dengan kematian Albus Dombledore. Maka The Deathly Hallows dimulai dengan memperlihatkan kekacauan dunia sihir dan dunia muggle sepeninggal Dumbledore. Kementrian Sihir diambil alih Death Eater (alias Pelahap Maut), muggle dan penyihir "berdarah lumpur" ditangkap dan dibunuh, bahkan demi melindungi keluarganya, Hermione sampai harus menghapus dirinya dari ingatan kedua orang tuanya.
Kalau itu masih kurang "muram", di 30 menit pertama sudah ada satu tokoh yang tewas, dan satu lagi yang terluka parah. Bahkan pesta pernikahan Bill Weasley dengan Fleur Delacour pun tak berhasil menciptakan suasana suka cita di kediaman keluarga Weasley.
Dari situ, fokus film berpindah pada petualangan Harry, Ron, dan Hermione mencari dan menghancurkan horcrux. Horcrux adalah jimat berisi potongan jiwa Lord Voldemort -- total berjumlah tujuh buah -- yang jika semuanya berhasil dihancurkan, tamatlah riwayat Sang Pangeran Kegelapan. Tentunya mencari horcrux bukan hal yang mudah, karena tak ada satu pun dari mereka yang tahu apa bentuk horcrux-horcrux tersebut. Dan jika sudah berhasil ditemukan pun, tak ada yang tahu bagaimana cara menghancurkannya.
Situasinya makin rumit karena kali ini tiga sekawan penyihir ini tak mendapat bantuan sama sekali dari pihak luar, bahkan dari keluarga mereka sendiri. Harry dkk terpaksa tinggal di tenda, berpindah-pindah tempat supaya tak mudah terlacak. Maklum saja, wajah Harry sudah tersebar di seluruh penjuru kota dalam selebaran bertuliskan 'Wanted'.
Masalah juga timbul saat Ron -- yang diam-diam jatuh cinta pada Hermione -- merasa cemburu dengan kedekatan Harry dan gadis pujaannya. Beban Ron di perjalanan ini memang tak ringan. Bukan saja merasa tersisih dari Harry dan Hermione yang sering menghabiskan waktu bersama, Ron juga tak pernah melepaskan pendengarannya dari siaran radio gerilya. Radio ini tak memutarkan musik, melainkan memberi informasi tentang siapa saja penyihir yang dinyatakan hilang, dan siapa saja yang terbunuh.
"Aku mendengarkan untuk memastikan nama Ginny, Fred and George, atau ibuku tak disebut," ujar Ron saat Harry memintanya mematikan radio.
Heart-breaking, isn't it?
Tapi jangan khawatir, di tengah segala kesedihan dan ketegangan film, kita masih akan dibuat tertawa dengan humor-humor khas Harry Potter. Pengocok perut paling utama tentu saja adalah Ron, yang dari dulu dikenal suka melontarkan pernyataan-pernyataan konyol. Belum lagi usahanya memikat hati Hermione yang bukan jadi romantis tapi malah mengundang tawa.
Lalu jika Anda masih membayangkan Harry dkk sebagai bocah-bocah imut siswa sekolah Hogwarts, hapuskan imej itu dari pikiran Anda. Daniel Radcliffe kini berusia 21 tahun, Rupert Grint -- pemeran Ron -- sudah pernah melakukan adegan sex di film Cherry Bomb (2009), sedangkan Emma Watson... Ah, masih perlukah saya beri tahu seperti apa rupa Emma Watson saat ini?
Satu lagi penanda tiga penyihir ini sudah beranjak dewasa adalah adegan ciuman yang semakin "berani". Bukan lagi sekadar kecupan di bibir, tapi french kiss panjang dan penuh gairah, yang menampilkan Emma Watson topless.
Jadi jelaslah sudah, Harry Potter and the Deathly Hallows: Part I memang bukan film anak-anak. Logikanya sih, anak-anak SD yang dulu menonton Harry Potter and the Sorcerer's Stone di tahun 2001 pun kini telah beranjak remaja.
Oh ya, kenapa ada embel-embel "Part I" pada judul film? Tidak lain karena buku terakhir dari seri Harry Potter ini memang diangkat ke dalam dua film. Mungkin terlalu banyak detail yang tak boleh terlewatkan sehingga jika semuanya dimuat ke satu film bisa-bisa durasinya jadi lima jam. Maka berakhirlah Harry Potter and the Deathly Hallows: Part I pada sebuah adegan klimaks yang menampilkan Lord Voldemort. Penonton pun dibuat geregetan dan penasaran karena harus menunggu sambungan ceritanya -- Harry Potter and the Deathly Hallows: Part II -- yang baru akan dirilis Juli 2011.